Awal kemerdekaan Indonesia tidak hanya diwarnai kisah perjuangan dan heroisme. Di sela-sela semangat membangun bangsa, banyak pula peristiwa lucu dan menggemaskan yang lahir dari kepolosan rakyat maupun suasana serba darurat kala itu.
Presiden Soekarno pernah menceritakan sebuah kejadian unik. Beberapa hari setelah proklamasi, sejumlah warga menaiki kereta api. Ketika kondektur datang menagih ongkos, mereka kaget.
“Lho, buat apa bayar? Kita kan sudah merdeka!” protes mereka polos.
Rupanya, ada anggapan bahwa kemerdekaan otomatis membuat semua hal gratis, termasuk naik kereta.
Setelah negara berdiri, presiden terpilih, tapi belum ada kendaraan dinas untuk kepala negara. Sejumlah pemuda pun bergerak mencari.
Akhirnya, mereka menemukan sebuah mobil Buick mewah milik seorang pejabat Jepang. Sudiro, salah seorang pemuda, meminta sopir mobil itu menyerahkan kunci, lalu memintanya pulang kampung.
Mobil tersebut pun menjadi kendaraan dinas pertama Presiden Indonesia.
Pada malam hari setelah sidang PPKI 18 Agustus 1945, Bung Karno berjalan kaki pulang. Di pinggir jalan, aroma sate ayam membuatnya tergoda.
Perut lapar membuat sang presiden baru mengeluarkan “perintah pertamanya”:
“Beri aku sate ayam, 50 tusuk!” katanya.
Sambil berjongkok di pinggir jalan, presiden negara yang baru lahir itu menyantap sate dengan lahap.
Saat awal menjabat, Bung Karno belum memiliki ajudan. Seorang pemuda pun ditunjuk dan langsung diberi pangkat Letnan. Ia tentu senang bukan main.
Namun, penasihat presiden menilai pangkat itu terlalu rendah. “Ratu Juliana dari Belanda yang memimpin 10 juta orang saja ajudannya kolonel. Masa presiden Indonesia dengan rakyat lebih banyak ajudannya cuma letnan?” katanya.
Bung Karno setuju. Pemuda itu pun dipanggil kembali. “Mulai sekarang, pangkatmu mayor,” ujar sang presiden.
Dalam waktu hanya satu setengah jam, sang ajudan naik dua tingkat. Menurut Bung Karno, hal seperti ini wajar di masa revolusi.
Dari kisah-kisah ini, kita belajar bahwa kemerdekaan bukan hanya perjuangan dan pengorbanan, tetapi juga tawa dan kehangatan. Dalam situasi sulit sekalipun, rasa humor dan kepolosan rakyat menjadi pengingat bahwa membangun bangsa memerlukan hati yang ringan, semangat yang besar, dan senyum yang tulus.